Seorang kakek berkebangsaan asing dengan status ahli bahasa ditempatkan menjadi ahli pengajar bahasa asing di satu universitas negeri di sebuah kota besar di Indonesia. Sang kakek ini telah lama berprofesi sebagai pengajar bahasa untuk orang asing dan pernah ditempatkan di beberapa kota penjuru dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Pada saat dia bertugas di wilayah Indonesia Timur, ternyata dia masih menghadapi kendala budaya Indonesia yang dianggapnya kurang baik. “Universitas negeri sebesar ini masih mengandalkan budaya tidak tepat waktu,” begitu salah satu keluh kesahnya.
Suatu ketika, dia akan mengajar di sebuah kelas, namun si penjaga ruangan datang terlambat. Dia marah besar. Suatu hari, dia mendobrak pintu hingga rusak. Hari lain, karena mungkin demikian emosinya, dia melabrak pembawa kunci itu dan entah disengaja atau tidak, air liurnya mengenai muka sang staf dan penjaga. Peristiwa itu berhasil diredakan karena sang kakek dipaksa meminta maaf kepada yang bersangkutan. Bagaimana kesan Anda terhadap peristiwa ini?
Mari kita uji nasionalisme Anda. Siapa yang harus dibela, sang tamu dari negeri seberang yang telah sepuh atau sang pembawa kunci, seorang penduduk lokal dengan status sosial (yang dianggap) rendah?
Ketika mendengar peristiwa itu, salah satu staf pengajar yang terhitung masih muda tersulut emosinya dan merasa terpanggil untuk mewujudkan rasa nasionalismenya. Apalagi hal itu menimpa kaum kecil yang kemungkinan (sangat besar) tidak mampu menyuarakan kata hatinya. Dengan penuh usaha dan upaya, akhirnya ia berhasil melaporkan peristiwa itu kepada lembaga pengirim sang kakek. Lembaga ini juga menyatakan keterkejutannya karena tidak pernah ada pembicaraan dan pelaporan secara resmi. Bahkan, mereka menganggap masalah itu cukup serius karena berkaitan dengan hubungan baik kedua bangsa.
Peristiwa itu selesai karena dianggap sudah ada upaya damai, meski nyatanya diselesaikan dengan setengah dipaksakan. Jadi, tidak pernah ada pelaporan tentang peristiwa tersebut, kecuali sang dosen muda yang berupaya keras menginformasikannya kepada pihak-pihak tertentu agar dapat memberikan pelajaran pada sang kakek, yang dianggapnya tidak sopan dan juga menjatuhkan harga diri seseorang.
Usut punya usut, mengapa pihak universitas—dalam hal ini juga di tingkat jurusan dan fakultas—tidak mau melakukan pelaporan secara resmi? Pertama, selain telah dianggap ada upaya damai, kedua karena ada kecenderungan ingin menyelesaikan masalah ini tanpa ada keributan. Juga ada kekhawatiran apabila nanti lembaga donor tersebut tidak bersedia mengirimkan tenaga ahlinya.
Dalam sebuah pertemuan resmi antara pihak universitas dan lembaga pengirim tenaga ahli tersebut, yang mempertemukan pihak universitas—yang meliputi pimpinan, pengajar, serta korban—terdapat pernyataan-pernyataan yang menarik. Pimpinan yang pada awalnya sempat protes melunak. Dia mengatakan sebaiknya peristiwa itu dianggap selesai karena semuanya sudah berjalan dengan damai. Pihak korban pun menyatakan sudah menerima peristiwa itu dan tidak akan menuntut segala sesuatu apa pun karena sudah terjadi proses perdamaian.
Sang dosen muda merasakan adanya skenario dalam pertemuan itu, seperti sebuah drama sinetron di televisi Indonesia. Tidak menarik dan mudah ditebak akhirnya. Bahkan, segala sesuatu bisa diada-adakan.
“Kakek sang tenaga ahli merasa stres karena seseorang di dalam lingkungan kita telah melaporkan peristiwa ini sehingga suasana menjadi kacau,” begitu komentar sang pimpinan. Anda tahu maksudnya, kan? Bukankah kaum kecil seharusnya dibela? Bukankah “harga diri” bangsa dan negara sebaiknya ditonjolkan? Tetapi malah sebaliknya. Intinya, kekacauan (pasca-peristiwa ini) adalah gara-gara “pelaporan” oleh seseorang yang mencoba menjaga harga diri dan berupaya menjaga rasa nasionalismenya.
Setelah mengalami proses agak lama, tenaga ahli tersebut ditarik dengan alasan kesehatannya yang tidak memungkinkan. Sebuah akhir yang menarik dan tidak pernah diduga karena keadilan akhirnya dapat diwujudkan.
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata. Sang dosen muda itu adalah saya. Dan, sampai detik ini saya juga tidak pernah habis pikir bahwa pengajaran sejarah secara resmi di negeri ini didominasi oleh pelajaran yang menonjolkan nasionalisme dan rasa persatuan-kesatuan di atas segala golongan. Namun nyatanya apa…?
Pengajaran sejarah (resmi) Indonesia memang sering kali tidak ditangkap makna dan esensinya. Implementasi pelajaran moral di dalamnya dengan realitas yang ada selama ini masih jauh jaraknya, seperti bumi dan langit.
Memang sangat memilukan ternyata Indonesia—yang secara fisik telah terlepas dari penjajahan sejak 64 tahun yang lalu, ternyata masih belum terlepas dari penjajahan, khususnya dalam bentuk moral. Sebagian (besar) bangsa Indonesia masih belum terlepas dari penjajahan yang tidak terlihat. Penjajahan yang wujudnya penjajahan cara berpikir yang cenderung tidak merdeka, tidak terbuka, serta cenderung negatif dan pasif.
Bangsa Indonesia memang belajar sejarah dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Masa penjajahan pemerintahan militer Jepang tahun 1942-1945 pun banyak diangkat sebagai topik penting dalam buku dan mata pelajaran resmi Indonesia. Salah satu alasan penting adalah untuk meningkatkan nasionalisme bangsa Indonesia.
Sejarah Indonesia mengalami masa kelam di masa penjajahan itu. Memang betul, sejarah di masa itu kelam, tetapi jangan sampai mengelamkan dan mengeruhkan hati nurani kita. Mengapa demikian? Karena setelah diteliti secara ilmiah, ternyata hubungan sejarah Indonesia-Jepang tidak sebatas masa penjajahan.
Pernahkah Anda mendengar kedatangan orang-orang Jepang sebelum masa perang? Mereka melakukan perdagangan dengan masyarakat lokal dengan damai? Pernahkah Anda dengar beberapa orang samurai datang pada saat Portugis masih menguasai rempah-rempah di kepulauan Maluku? Pernahkah Anda mendengar para pekerja tak layak bangsa Jepang, termasuk mucikari, pencopet, dan juga PSK merupakan pembuka hubungan Indonesia-Jepang di awal abad XIX?
Dengan kata lain, sejarah Indonesia telah berlangsung selama berabad-abad dan masa perang hanya terjadi selama tiga tahun. Rangkaian kisah “biasa-biasa” ini merupakan kisah manusiawi yang kadang dramatis, namun jarang diekspos oleh pengajaran sejarah resmi Indonesia. Ingat sejarah menunjukkan, bangsa dan negara Jepang pernah miskin secara ekonomi. Selain secara fakta Jepang tidak memiliki sumber-sumber alam sehingga memerlukan dan melakukan ekspansi di wilayah lain.
Jepang menjadi salah satu negara maju dan canggih sampai saat ini juga melalui proses yang panjang dan luar biasa. Namun, jarang orang memikirkan bagaimana sejarah awal mulanya. Perlu dicatat, bangsa dan masyarakat Jepang juga manusia biasa. Namun, pernahkah kita sebagai bangsa Indonesia melepaskan bayangan mereka dari para anggota militer yang memperlakukan romusa, pekerja rodi, dan jugun ianfu secara keji?
Memang betul sejarah romusa, pekerja rodi, atau jugun iafun terjadi di bumi Nusantara. Kekejaman itu memang merupakan bagian dari sejarah bangsa kita. Namun, layakkah kita sebagai bangsa Indonesia yang seharusnya bermatabat “hanya” selalu mengingat kekejaman-kekejaman peperangan belaka? Yang membuat mereka unik dan lebih hebat dari bangsa Indonesia adalah cara dan upayanya untuk menjadi bangsa yang maju—sampai saat ini.
Tetapi prinsipnya, kita sama-sama manusia biasa di dunia ini. Saya kira pikiran kita perlu dibuka untuk menerima paradigma baru bahwa manusia Jepang adalah manusia biasa, tak lepas dari kelebihan dan kekurangannya. Pernah mengalami masa sulit, miskin, juga mengalami penderitaan selama perang berlangsung. Perlu dicatat, sebagian masyarakat Jepang juga menderita, bukan hanya bangsa korban jajahan saja lho yang menderita.
Apakah sudah saatnya kita menggunggat pengajaran sejarah resmi Indonesia yang tidak mengajarkan kita untuk berpikir kritis dan berpikir lebih komprehensif? Ya, mungkin ide ini masih memerlukan waktu yang lama untuk diwujudkan. Lebih baik bagi kita adalah menyeimbangkan jalan pikiran kita dahulu antara pikiran negatif dan positif. Menyeimbangkan hati nurani, memori, serta fakta sejarah kita saat ini yang dipenuhi kisah-kisah “kekejaman” dan penuh dendam.
Sadarkah kita bahwa selama ini kita masih dibutakan dan masih didikte oleh sejarah-sejarah resmi pemerintah yang kurang memerhatikan peran orang-orang biasa? Coba lihat makalah Profesor Aiko Kurasawa. Sejarah kita juga masih lebih memerhatikan sejarah para elit daripada sejarah masyarakat biasa, itu bila menggunakan istilah Profesor Bambang Purwanto.
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-64, kita perlu melakukan evaluasi penting. Apakah pikiran kita sudah dan bebas dan merdeka sepenuhnya? Ataukah kita masih terjajah oleh jalan pikiran dan juga hati nurani kita yang kelam? Untuk belajar dari itu semua, kita memerlukan pembelajaran dari sejarah. Tentu saja bukan sejarah yang standar yang ada selama ini. Sejarah yang sexy dan juga mencerahkan pembelajaran bagi umat manusia. Akhir kata, mari kita bertanya pada diri sendiri, siapkah kita menciptakan sejarah baru bangsa Indonesia untuk membangun paradigma berpikir yang baru, yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan?[mspa]
* Meta Sekar Puji Astuti adalah penulis buku Apakah Mereka Mata-Mata? - Orang-Orang Jepang di Indonesia 1868-1942. Lulusan Sastra Jepang UGM dan menyelesaikan studi masternya di Ohio University, Amerika Serikat. Tercatat sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Jepang, Universitas Hasanuddin. Ia pernah menjadi peneliti tamu di Keio University tahun 2008-2009 disponsori oleh The Japan Foundation. Saat ini tengah menempuh studi S-3 di Keio University, Tokyo, Jepang. Selain akademisi dan peneliti, ia juga seorang ibu rumah tangga biasa dengan dua orang anak yang peduli dengan pendidikan bangsa untuk penyadaran identitas diri bangsa Indonesia.